Mengenal Paradigma dalam Penelitian Komunikasi

Rezanda Surya Dinata
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya

Penelitian adalah usaha secara sistematis dengan tujuan untuk menemukan jawaban ilmiah dari suatu masalah. Kata Sistematik dipilih karena didalamnya harus mengikuti prosedur dan langkah-langkah yang ada sebagai sebagai keabsahan sebuah prosedur. Penelitian atau riset dalam praktik komunikasi membahas berbagai fenomena – fenomena dan masalah – masalah komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif (Kriyantono, 2006). 
Pengertian penelitian dari berbagai ahli :
1. Soetrisno Hadi
Menurut Soetrisno Hadi, pengertian penelitian adalah suatu usaha dalam menemukan segala sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan yang ada, menggali lebih dalam apa yang telah ada, mengembangkan dan memperluas, serta menguji kebenaran dari apa yang telah ada namun kebenarannya masih diragukan.
2. Soerjono Soekanto
Menurut Soerjono Soekanto, definisi penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan pada analisis dan konstruksi yang dilakukan secara sistematis, metodologis dan konsisten dan bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sebagai salah satu manifestasi keinginan manusia untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya.
3. Sanapiah Faisal
Menurut Sanapiah Faisal, pengertian penelitian adalah suatu aktivitas dalam menelaah suatu problem dengan menggunakan metode ilmiah secara tertata dan sistematis untuk menemukan pengetahuan baru yang dapat diandalkan kebenarannya mengenai dunia alam dan dunia sosial.
4. Donald Ary
Menurut Donald Ary, pengertian penelitian adalah penerapan dari pendekatan ilmiah pada suatu pengkajian masalah dalam memperoleh informasi yang berguna dan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.
5. Tyrus Hillway
Menurut Tyrus Hillway, pengertian penelitian adalah suatu metode studi yang sifatnya mendalam dan penuh kehati-hatian dari segala bentuk fakta yang bisa dipercaya atas suatu masalah tertentu guna untuk membuat pemecahan masalah tersebut. Penelitian tentu memiliki fungsi, seperti dalam penelitian pendidikan :
 1. Pengembangan Ilmu Pendidikan Masalah dan variabel yang diteliti digali dan diangkat berdasarkan teori-teori yang ada dalam ilmu pendidikan. Hipotesis diturunkan dari teori yang telah ada, diuji secara empirik untuk pengembangan ilmu. Bidang kajiannya meliputi : kurikulum, proses belajar mengajar, evaluasi / penilaian pendidikan, administrasi dan supervisi pendidikan, bimbingan penyuluhan, pendidikan luar sekolah, pendidikan khusus, bidang teori dan filsafat pendidikan.
2. Pemecahan Masalah Pendidikan Maksudnya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan praktek pendidikan, termasuk penelitian terapan. Memecahkan masalah-masalah pendidikan teriutama masalah yang berkenaan dengan kualitas proses pendidikan dan pengajaran, kualitas atau mutu hasil pendidikan, efisiensi dan efektivitas pendidikan, relevansi pendidikan dan lain-lain. Bidang kajiannya meliputi : kurikulum dan sistem sekolah, anak didik, sistem pengajaran, lingkungan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, bahan-bahan instruksional, media dan teknologi pendidikan, penilaian pendidikan, administrasi sekolah, pelaksanaan bimbingan penyuluhan, perpustakaan sekolah.
3. Penelitian Kebijasanaan Pendidikan Bidang kajiannya meliputi : Kurikulum Muatan Lokal, Pendidikan Dasar 9 tahun, Pengawasan Melekat, Monosistem Pendidikan Guru, Orang Tua Asuh, Kenaikan Pangkat Otomatis, Pendidikan Guru di Universitas, Pendidikan Politeknik, Pendidikan Multistrata.
4. Penelitian pendidikan yang dapat menunjang pembangunan. Bidang kajiannya meliputi : Peranan pendidikan dalam hubungannya dengan sektor ketenagakerjaan, produktivitas kerja, program keluarga berencana dan kependudukan, lingkungan hidup, ideologi bangsa.
Selain penelitian, terkadang kita sering dibuat bingung terhadap beda antara metodologi penelitian dengan penelitian itu sendiri. Metodologi penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi, metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara saksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya. Tentang istilah “Penelitian” banyak para sarjana yang mengenukakan pendapatnya, seperti :
a. David H. Penny Penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.
b. J. Suprapto MA Penelitian ialah penyelididkan dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati serta sistematis.
c. Sutrisno Hadi MA Sesuai dengan tujuannya, penelitian dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
d. Mohammad Ali Penelitian adalah suatu cara untuk memahami sesuatu dengan melalui penyelidikan atau melalui usaha mencari bukti-bukti yang muncul sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya.
 Dari batasan-batasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan/mempersoalkan mengenai cara-cara melaksanakan penelitian sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah. Sedangkan penelitian adalah kegiatan untuk mencari, menganalisis, mencatat apa yang menjadi bahan dalam metodologi penelitian itu sendiri. Instrumen penelitian digunakan sebagai alat pengumpulan data, dan instrument yang lazim digunakan dalam penelitian adalah beberapa daftar pertanyaan serta kuesioner yang disampaikan dan diberikan kepada masing-masing responden yang menjadi sampel dalam penelitian pada saat observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini, fenomena sosial telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti yang selanjutnya disebut variabel penelitian dan dalam operasionalisasi variabel menggunakan skala ordinal. Skala ordinal digunakan untuk memberikan informasi nilai pada jawaban. Setiap variabel penelitian diukur dengan menggunakan instrumen pengukur dalam bentuk kuesioner berskala ordinal yang memenuhi pernyataan-pernyataan tipe Skala Likert’s.
Menurut Sugiyono (2016:132) definisi Skala Likert yaitu: “Skala Likert merupakan alat yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi sesorang atau sekelompok orang tentang fenomena soaial. Dengan menggunakan skala likert veriabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.” Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Instrumen untuk mengukur sistem akuntansi keuangan daerah, sistem pengendalian intern pemerintah dan kualitas laporan keuangan adalah dengan menggunakan observasi, wawancara dan kuesioner metode tertutup, dimana kemungkinan pilihan jawaban sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberikan alternatif jawaban lain.
b. Indikator-indikator untuk variabel-variabel tersebut kemudian dijabarkan oleh penulis menjadi sejumlah pertanyaan-pertanyaan sehingga diperoleh data kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan pendekatan kuantitatif menggunakan analisis statistik.
Tiga landasan ilmu pengetahuan atau yang sering disebut dengan tiga tiang peyangga ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat ilmu terdiri atas : ontologi, epistimologi dan aksiologi. Liek Wilardjo menambahkan satu landasan lagi yang disebut dengan teleologis yang biasanya digabingkan dengan aksiologis. Ketiga unsur ini merupakan tolok ukur dalam membangun The Body of Knowledge. Bangunan keilmuan yang ditopang tiga tiang peyangga ini menjadi prasyarat mutlak jika mengupas hubungan sinergi antara filsafat ilmu dengan metodologi penelitian. Secara aplikasi, pola penggunaan tiga tiang peyangga ini dalam riset utamanya dalam rancangan penelitian akan terwujud sebagai berikut : pada tataran ontologis akan tercermin pada latar belakang penelitian, rumusan dan batasan masalah, termasuk didalamnya penelitian terdahulu maupun kajian pustaka, adapun tataran epistimologi terwujudkan dalam metode penelitian dan pada ataran aksiologi maupun teleologis berwujud ke tujuan dan manfaat penelitian.
Tiga ranah ini sesungguhnya menjadi kata kunci landasan filosofis dalam riset. Salah satu tiang penopang dalam bangunan ilmu pengetahuan adalah epistimologi. Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Epistimologi merupakan teori pengetahuan yang diperoleh melalui proses metode keilmuan dan sah disebut sebagai keilmuan. Dengan epistimologi maka hakikat keilmuan akan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan dengan sifat terbuka, dan menjunjung tinggi kebenaran di atas segala-galanya. Oleh sebab itu aliran yang berkembang dalam menopang konsep epistimologi menunjukkan koridor di atas seperti rasionalisme, empirisme, kritisme, positivisme, fenomenologi.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistimologi, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya rasionalisme kritis (kritisme), fenomenalisme, intuisionisme dan positivisme. Rasionalisme adalah suatu pemikran yang menekankan pentingnya akal atau ide, sementara peran indera dinomorduakan. Pemikiran para filsuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini yakni rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada ontologik idealisme atau spritualisme dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialsme.
Epistimologi sains barat dimulai dari berkembangnya pemikiran empiris sebagai antitesis dari filsafat intuitif yang dikembangkan di awal sejarah manusia dan pertentangannya dengan filsafat rasionalisme di abad ke 17 sebagi antitesis dari pemikiran ampirisme, serta lahirnya epistimologi baru di awal abad kedua puluh. Epistimologi abad kedua puluh ini ditandai dengan diliriknya fenomenologi (sintesis) yang mengabungkan aspek rasionalisme, empirisme dan sekaligus intuisi dalam epistimologi keilmuannya.
Metodologi penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun oleh peneliti. Sebagai jembatan yang menghubungkan antara dunia ontologi dengan aksiologi, juga antara dunia das sollen dan das sein sehingga kesenjangan yang terjadi di lapangan atau yang berkecamuk dalam dunia pemikiran dapat terumuskan jawabannya. Semula metodologi merupakan cabang dari logika, tetapi sekarang ini metodologi merupakan bagian dari bidang filsafat. Secara sederhana metodologi adalah bidang filsafat yang membahas metode pada umumnya. Metodologi dapat diperinci menjadi dua, yaitu: (a) Metodologi Ilmu, yang khusus membicarakan metode-metode ilmiah sejak dari unsur-unsur metode ilmiah, langkah-langkahnya, jenisjenisnya, sampai kepada batas-batas dari metode lmiah. (b) Metodologi Filsafat, yang khusus membicarakan metode-metode yang digunakan dalam filsafat. Usaha ini dirasakan sulit, karena dalam filsafat tidak ada satu metodepun yang dianggap paling tepat. Tidak ada metode yang khas bagi filsafat para filusuf bebas menggunakan metode apa saja dalam mencari kebenaran.
Oleh karena metodologi ilmu yang merupakan pengejawantahan dari metode ilmiah yang oleh Soetriono dan Rita Hanafie dinyatakan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkahlangkah yang sistematis. Garis besar langkahlangkah sistematis keilmuan sebagai berikut: (1) Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah, (2) Menyusun kerangka pemikiran (logical construct), (3) Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah), (4) Menguji hipotesis secara empirik, (5) Melakukan pembahasan, (6) Menarik kesimpulan.
Tiga langkah pertama merupakan metode penelitian, sedangkan langkah-langkah selanjutnya bersifat teknis penelitian. Dengan demikian maka pelaksanaan penelitian menyangkut dua hal, yaitu hal metode dan hal teknis penelitian. Namun secara implisit metode dan teknik melarut di dalamnya. Mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, yaitu menetapkan masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa obyeknya. Menyatakan obyek penelitian saja masih belum spesifik, baru menyatakan pada ruang lingkup mana penelitian akan bergerak. Sedangkan mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question), yaitu pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum atau dalil) yang ada.
Keterkaiatan epistimologi dengan metodologi penelitian disimpulkan oleh Endang Koswara sebagai berikut : Struktur prosesial mencakup Sembilan Langkah Sistematik, yaitu: Tahap pra penelitian (identifikasi masalah, penetapan tujuan penelitian /tercapainya ilmu, introspeksi dan skeptif). Tahap proses penelitian (tahap ontologis medasar/ asumsi dasar). Tahap Epistimologis (metodologi/sarana dan cara mencapai ilmu, penyimpulan, aplikasi ilmu praksis dan tercapainya sebagai pembuktian dan ilmu final). Tahap Akhir (tercapainya kebahagiaan abadi).
Nilai Manfaat Riset
Aksiologi dalam riset bertujuan agar riset yang dilakukan bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia, baik itu secara teoritis atau akademik maupun secara empirik atau lapangan. Nilai manfaat ini sebaiknya terpikirkan sejak peneliti memulai pra riset. Seringkali kemanfaatan riset ini baru terpikirkan dan digarap pada penyusunan bab penutup dari laporan penelitian. Padahal secara eksplisit maupun implisit, nilai manfaat selalu menyertai setiap langkah riset. Nama lain yang sering digunakan untuk pengertian nilai manfaat adalah kontribusi penelitian atau kegunaan penelitian. Sebaiknya memang dua aspek : teoritis dan praktis selalu terjelma dalam hasil riset baik itu penelitian literature maupun penelitian lapangan. Konsekuensi ilmiah dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah menyampaikan hasil-hasil penelitian pada dua aspek tersebut.
 Seringkali setelah selesai sidang majelis mempertahankan hasil riset, peneliti menganggap riset berakhir. Laporan penelitian dipajang di lemari, hasil penelitian tidak menyentuh pada masalah-maslah yang dihadapi masyarakat. Pentingnya riset terletak pada sejauhmana kontribusi tersebut termanfaatkan. Di sisi akademik, dijelaskan bahwa nilai manfaat penelitian adalah suatu penelitian yang dilakukan membawa pengaruh pada konsekuensi ilmiah yaitu sumbangsih pada bangunan teori (theory building). Artinya penelitian yang dilakukan membawa dampak positif pada bangunan keilmuan sesuai dengan yang digeluti peneliti. Hal ini tercermin ada hubungan sinergis antara kajian pustaka yang dipaparkan dengan analisis yang bermuara pada penambahan, pengurangan atau falsifikasi atas teori yang diajukan. Tentunya hal ini sesuai dengan posisi peneliti: apakah pada riset S1 atau Pascasarjana. Terdapat perbedaan dalam hal kontribusi ilmiah karena hal ini didasari atas stratifikasi keilmuan. Di sisi empirik, dijelaskan bahwa riset itu akan termanfaatkan jika masyarakat benarbenar merasakan manfaatnya. Seringkali laporan riset tidak disosialisasikan. Hal ini terlihat dari masing-masing berjalan sendiri dengan masalahnya. Hasil riset tetap di lemari dan masyarakat tetap dengan masalahnya. Inti pengabdian masyarakat adalah penerapan hasil riset adalah hal yang mutlak. Qonditio sine qua non. Disinilah sebenarnya letak ultimate reality dari riset.
Masyarakat disini termasuk di dalamnya lembaga atau birokrasi yang diteliti. Hasil riset yang disimpan tidak akan membawa perubahan pada lembaga yang diteliti. Oleh karena penelitian ilmu-ilmu sosial merupakan ilmu yang dinamis maka terjadi pergerakan dan perubahan yang hal ini lambat laun berpengaruh pada singnifikansi riset. Jika kemudian hasil riset tidak diberikan pada lembaga yang diteliti dan oleh lembaga tidak menindaklanjuti hasil riset untuk perbaikan kinerja lembaga maka sesungguhnya nilai manfaat belum berjalan optimal. Uraian inilah yang disebut sebagai pasca riset yaitu tindakan peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil risetnya. Sisi pasca riset ini bisa ditelusuri mengapa Indonesia tidak terdapat perubahan yang berarti dikarenakan ilmuwan berputar-putar pada persoalan mereka sendiri. Sedemikian banyak hasil riset yang selesai dilakukan berhenti pada titik nol dan hasil riset kadangkala kadaluarsa karena sudah tidak dapat diaplikasikan di masyarakat yang dinamis.
Essensi Kajian Pustaka dan Membangun Metodologi Disiplin Keilmuan
Pustaka tidak selamanya memuaskan keinginan penulis dalam menuangkan ide dalam gagasan riset. Inilah essensi salah satu riset yaitu riset dilakukan untuk sumbangsih bangunan teori. Pembacaan atas realita pustaka yang masih belum diakses secara nasional selain persoalan klasik dan lemahnya sistem jaringan kepustakaan memungkinkan seseorang lemah dalam keaktualan dan kefaktualan data pustaka. Jaringan akses yang berkembang dalam menelusuri pustaka lewat dunia maya juga masih dipertanyakan keabsahannya terutama aspek pertangunggjawaban ilmiah. Seringkali yang dijumpai adalah banyak peneliti yang sangat mengantungkan sumber informasi primer dari jejaring sosial tersebut. Oleh sebab itu Diktis Kemenag, Dikti Dikbud atau LIPI berkewajiban untuk menata standar ilmiah dalam mengakses jejaring sosial berkaitan dengan mutu penelitian.
Hal yang sering terjadi adalah peneliti belum dapat menunjukkan bobot keilmuan yang ditekuni. Seorang peneliti sejak awal sebelum terjun ke dunia riset sebaiknya dapat mengukur sejauhmana disiplin ilmu yang dikuasai. Hal yang paling mudah adalah peneliti concern di bidang apa. Bidang ini yang dispesialisasi. Membangun bidang yang ditekuni dengan jalan mendalami kajan pustaka terbaru termasuk didalamnya menelusuri hasil riset pada jurnal nasional dan internasional. Program ini dilakukan bertujuan agar supaya terlihat jelas nantinya hasil riset yang bagaimana yang dapat disumbangkan dalam bangunan teori yang ditekuni.
Mempelajari metodologi penelitian adalah mempelajari pula bangunan spesifik metodologi penelitian yang dikembangkan dalam disiplinilmu tersebut. Artinya dalam pemilihan dan penetapan bentuk atau alur metodologi yang bagaimana yang akan dipergunakan sudah selayaknya menggunakan metodologi yang dikembangkan dalam disiplin ilmu tersebut. Hal ini menjadi sangat urgen dikarenakan banyak disiplin ilmu yang masih belum menemukan jati diri metode penelitian yang dikembangkan khas rumpun ilmunya. Hal ini wajar saja terjadi karena payung ilmunya di bidang penelitian sosial maupun penelitian alam telah menyediakan standar umum penelitian. Namun demikian problematika yang dihadapi dalam riset sangat khas rumpun ilmu yang bersangkutan sehingga membutuhkan warna khusus dalam metode penelitian.
Secara empirik ditemukan bahwa peneliti yang menggunakan metodologi dalam penelitiannya belum diwarnai oleh kekhasan penelitian dalam bidang yang ditekuni. Contoh misalnya mahasiswa Fakultas Syari’ah. Dalam uraian riset yang dilakukan belum menggunakan metode penelitian hukum Islam yang dikembangkan. Sebagian besar mahasiswa masih menggunakan referensi metodologi penelitian dalam pengertian umum. Khususnya di bidang penelitianpenelitian ilmu sosial. Secara prinsip metodologi penelitian yang dipergunakan bukan merupakan problematika karena masih masuk dalam ranah penelitian akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan metodologi penelitian dari disiplin ilmu yang ditekuni. Pekerjaan apa yang dilakukan periset pada tinelitinya merupakan pekerjaan yang secara menyeluruh bermanfaat termasuk didalamnya adalah sejauh mana sumbangsih metodologi penelitian pada bangunan penelitian di bidang ilmu yang ditekuni.
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut pandang yang menggunakannya. Jika dari sudut pandang penulis, maka paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar yang menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Capra (1991) dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa paradigma adalah asumsi dasar yang membutuhkan bukti pendukung untuk asumsi-asumsi yang ditegakkannya, dalam menggambarkan dan mewarnai interpretasinya terhadap realita sejarah sains.
Sedangkan Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution menyatakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian yang terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama dalam suatu komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah berserta solusinya. Paradigma menurut Guba (1990) seperti yang dikutip Denzin & Lincoln, (1994) didefinisikan sebagai: “a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder the nature of the world…” Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan atau kepercayaan yang mendasari seseorang dalam melakukan segala tindakan.
Selanjutnya Paradigma oleh Bhaskar (1989) diartikan sebagai: “... a) a set of assumptions, b) belief concerning and c) accepted assume to be true” atau dapat diterjemahkan sebagai seperangkat asumsi yang dianggap benar apabila melakukan suatu pengamatan supaya dapat dipahami dan dipercaya dan asumsi tersebut dapat diterima. Dengan kata lain bahwa paradigma adalah sebuah bingkai yang hanya perlu diamati tanpa dibuktikan karena masyarakat para pendukungnya telah mempercayainya. Hanya tinggal kita saja yang perlu untuk mencermati dari berbagai macam paradigma yang ada.
Selanjutnya Ritzer (1981) mendefinisikan paradigma sebagai, “…A fundamental image of the subject matter within a science. It serves to define what should be studied, what question should be asked, how the should be asked and what rule should be followed in interpreting the answer obtained. The paradigm is the broadest unit consensus within a science and serve to differentiate on scientific community (or subcommunity) from another. It subsumes, defines and interrelates the exemplars theories and method and instruments that exist within it”. Ritzer (1981) menyatakan argumentasinya bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari para ilmuwan atau peneliti mengenai apa yang seharusnya menjadi kajian dalam ilmu pengetahuan, apa yang menjadi pertanyaannya dan bagaimana cara menjawabnya. Paradigma juga dikatakan sebagai konsensus dari para ilmuwan yang dapat melahirkan suatu komunitas atau subkomunitas yang berbeda dengan yang lain. Paradigma yang berbeda tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam teori yang digunakan, metode dan instrument yang ada untuk mencapai suatu kebenaran.
Pergeseran Paradigma Ilmu Pengetahuan
Padangan tentang paradigma ilmu pengetahuan nampak akan selalu berubah antar waktu. Suatu kelahiran paradigma yang baru tidak akan pernah terlepas dari paradigma sebelumnya. Atau mungkin paradigma yang muncul setelah paradigma sebelumnya sebagai paradigma yang selalu berusaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurang yang ada pada paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang selalu berganti sesuai dengan jaman dan peradaban yang ada di muka bumi ini. Contoh paradigma apakah paradigma positivis lebih baik atau buruk dari paradigma yang lainnya, menurut penulis tergantung pada para penganutnya yang bisa memahami dan mengerti paradigma tersebut.
Kuhn (1962) menyatakan bahwa pergeseran paradigma ilmu pengetahuan akan menimbulkan suatu kekerasan dan dapat memicu adanya suatu revolusi. Hal ini disebabkan penganut paradigma tersebut berusaha untuk menggoyang paradigma sebelumnya agar mereka berada dalam paradigma yang baru. Penganut paradigma yang baru pada masa itu berusaha untuk memusnahkan dan mengantikan paradigma sebelumnya dengan jalan mengungkap realitas yang ada dengan menjelaskan segala bentuk kelemahan pada paradigma sebelumnya. Untuk itu, Mulyana (2003) menyebut 2 faktor yang mendorong terjadinya pergeseran paradigma yaitu: “ …1)gugatan para ilmuwan perihal daya eksploratori pendekatan kuantitatif-positivistik terhadap objek kajian dan 2) laju perubahan social yang begitu cepat memerlukan pendekatan dan model studi yang lebih kontekstual dan handal”.
Pergeseran paradigma tersebut akan munculkan penganut-penganut yang mempercayai dan meyakini masing-masing paradigma yang ada. Oleh sebab itu, adanya pergeseran paradigma menciptakan suatu pengembangan dalam paradigma ilmu pengetahuan. Burrel & Morgan (1979) mengembangkan aspek paradigma tersebut dalam asumsi meta teoritikal yang mendasari kerangka referensi, model teori dan modus operandi dari ilmuwan yang berada dalam paradigma tersebut. Semua definisi dari keempat paradigma tersebut tidak mengindikasikan kesamaan pandangan seutuhnya karena dalam setiap paradigma pasti terdapat ilmuwan yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kesamaan yang bisa ditunjukkan hanya dalam konteks dasar dan asumsi, hal inilah yang membedakan antara satu paradigma dengan paradigma yang lainnya.
Sehingga Burrell & Morgan (1979) membagi paradigma tersebut sebagai a) paradigma fungsionalis ( The functionalist paradigm), b) paradigma interpretif (The Intrepretive Paradigm), c) paradigma radikal structuralis (The Radical Structuralist Paradigm) dan d) paradigma radikal humanis (The Radical Humanist Paradigm) Sedangkan Chua (1986) membagi paradigma dalam ilmu social menjadi 3 paradigma yaitu a) The Functionalist (Mainstream) Paradigm, b) The Interpretive Paradigma dan c) The Critical Paradigm.
Menurut Chua, pernyataan yang diungkapkan oleh Burrell & Morgan untuk paradigma radikal humanis dengan paradigma radikal strukturalis dapat digabungkan menjadi satu paradigma yaitu paradigma kritis (The Critical Paradigm). Sarantakos (1993) dalam Triyuwono (2006) membagi paradigma yang hampir sama dengan Chua (1986) yaitu 1) The Functionalist (Positivist) Paradigm, 2) The Interpretive Paradigm, 3) The Critical Paradigm Eichelberger (1989) dalam Miarso (2005) selanjutnya membedakan tiga paradigma filsafat yang melandasi metodologi pengetahuan, yaitu: positivistik, fenomenologik, dan hermeneutik. Sedangkan Bhaskar (1989) mengelompokkan paradigma dalam 3 kelompok yang didasarkan pada pengaruh individu dan masyarakat. Pengelompokkan tersebut meliputi paradigma positivisme (Emile Durkheim), paradigma conventionalisme (Max Weber), paradigma realisme (Karl Marx). Sedangkan Guba (1990) seperti yang dikutip oleh Salim (2006) membagi paradigma menjadi empat kelompok yaitu positivism, post-positivism, critical theory dan konstruktivisme.
Dimensi Ontologis, pada tataran dimensi ontologis, peneliti berada dalam pendekatan objektif dan akan melihat kenyataan sebagai objek. Artinya, objek adalah sesuatu yang berada di luar peneliti dan yang bebas dari penelitinya (value free) dan dapat diukur secara objektif dengan menggunakan instrument. Sedangkan dalam pendekatan subyektif, kenyataan adalah sesuatu yang ada dan dilibatkan oleh peneliti dalam penelitiannya dan peneliti juga ikut andil dalam penelitian tersebut (not value free)
Dimensi Epistemologi, dalam dimensi ini memberikan jarak yang cukup jauh dengan objek penelitiannya untuk pendekatan objektif sehingga lebih bersifat independent. Pendekatan objektif atau positivistic lebih menuntut penyusunan kerangka teori. Sebaliknya untuk pendekatan subyektif atau paradigma alternatif, peneliti justru berinteraksi dengan objek yang diteliti. Interaksi tersebut bisa berbentuk tinggal bersama atau mengamati perilaku subjek penelitian dalam jangka waktu tertentu dan tidak menuntut penyusunan kerangka teori sebagai persiapan awal penelitian.
Dimensi Aksiologi, dalam pendekatan objektif nilai-nilai yang dianut peneliti tidak boleh mempengaruhi penelitiannya dengan menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai dalam hasil penelitian dengan menggunakan bahasa yang impersonal, sedangkan dalam pendekatan subyektif justru sebaliknya, bahasa digunakan sebagai hubungan untuk mendekatkan antara peneliti dengan objek yang diteliti sehingga lebih bersifat personal.
Dimensi Metodologis, pendekatan objektif lebih menekankan pada logika deduktif dan teoritis dan pengembangan hipotesis dilakukan untuk menguji hubungan sebab akibat dan hasilnya cenderung statis. Sedangkan pendekatan subjektif lebih mengarah pada logika induktif dengan mengandalkan interaksi dari peneliti dengan actor yang ditunjuk dalam penelitian tersebut, sehingga lebih kaya informasi, lebih kontekstual dalam menjelaskan teori yang ada.
1. Paradigma Fungsionalis/Positivist
Paradigma positivisme/fungsionalis adalah paradigma yang muncul paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Kepercayaan dalam pandangan ini berakar pada paham ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam. Penelitiannya berusaha untuk mengungkap kebenaran dari realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan sesuai dengan kenyataannya. Dalam paradigma ini mempunyai prespektif yang didasarkan pada sosiologi regulasi dengan pendekatan obyektif dan cenderung mengasumsikan dunia sosial sebagai produk empiris yang sangat nyata serta mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya (sebab-akibat).
Paradigma ini muncul pada abad ke 19 yang dimunculkan oleh August Comte (1830-1842), kemudian dikembangkan oleh Emile Durkheim (1895) yang menjadi rujukan penganut positivist dalam bidang sosial. Menurut Durkheim (1895) seperti yang dikutip Salim (2006) objek studi sosiologi adalah fakta social (social-fact): “...any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint; or some thing which in general over the whole of given society whilst having an existence of its individual manifestation” Artinya, fakta sosial dalam uraian di atas adalah semua yang berkaitan dalam kehidupan, sekalipun fakta sosial tersebut berasal dari luar kesadaran individu. Untuk mencapai kebenaran ini peneliti harus menanyakan secara langsung kepada obyek yang diteliti, dan obyek tersebut dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan.
Paradigma positivist/fungsionalis ini telah ratusan tahun menjadi pedoman bagi ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran tersebut tidak merupakan kebenaran yang mutlak karena harus diuji terlebih dahulu berdasarkan beberapa faktor empiris untuk menjustifikasi kebenaran realitas yang ada pada saat itu. Dalam paradigma ini obyek ilmu pengetahuan dan pernyataan pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat yaitu harus dapat diamati (observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur (measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diramalkan (predictable) (Kerlinger, 1973). Paradigma ini memiliki pendekatan yang berusaha untuk menjelaskan hubungan sosial dengan pemikiran yang rasional, dengan orientasi yang pragmatik berkaitan dengan pengetahuan tepat guna dan mengedepankan regulasi yang efektif serta pengendalian hubungan sosial.
Pendekatan ini cenderung mengartikulasikan dunia sebagai dunia artefek empiris dan hubungan yang ada dapat diidentifikasi dan diukur dengan ilmu natural seperti biologi dan mekanik. Paradigma ini di dasarkan pada norma rasionalitas purposif (Burrel & Morgan, 1979). Berlandaskan fakta sosial dan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa paradigma positivist/fungsionalis melihat teori dalam penelitian sebagai dogma atau doktrin karena itu dalam mengembangkan penelitiannya selalu didasarkan pada logika deduktif, aksioma, standart dan hukum, selain dari itu bukanlah sebuah teori dan menempatkan hipotesis sebagai fakta atau hukum. Peran dari akal menurut positivist/fungsionalis adalah semua yang ada di dasarkan pada akal, demikian pula dengan kebenaran. Kebenaran menurut positivist adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehat walaupun jumlahnya hanya sedikit. Positivist/fungsionalis selalu menekankan pada generalisasi untuk memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena sebab akibat. Serta penjelasan keilmuannya selalu berdasarkan pada angka yang mengandung kepastian sehingga tidak bisa ditolak. Bagi pendukung paradigma ini penjelasan dan deskripsi adalah hubungan antara logika, data dan hukum atau mungkin standart yang diperoleh. Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang didasarkan pada pengamatan yang tepat dan dapat diulang kembali atau mungkin digeneralisasi. Sedangkan nilai yang ada dalam paradigma positivist selalu bersifat konvensional yaitu bersifat keras, menekan, memaksa (reduksionis) karena kebenaran adalah segala sesuatu yang berada di dalam maupun diluar yang harus bersifat obyektif sehingga bebas dari nilai (value free), sehingga kedudukan peneliti dalam paradigma ini bebas dari kepentingan.
2. Paradigma Interpretif
Paradigma interpretif muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap pandangan yang dikemukakan oleh paradigma fungsionalist/positivist khususnya mengenai realitas, karena menurut intrepretivist, realitas adalah yang dapat dikonstruksi oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian, sehingga paradigma ini menolak 3 prinsip yang didengung-dengungkan oleh penganut paradigma fungsionalis/positivist yaitu 1) ilmu merupakan usaha untuk mengungkap realitas 2) hubungan subyek dan obyek harus dapat digambarkan dan 3) hasil temuan harus dapat digeneralisasi. Atau dapat dikatakan bahwa fenomena yang akan diteliti adalah harus dapat diobservasi, dapat diukur dan dapat dijelaskan melalui karakter yang ada dalam penelitian tersebut. Paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman akan makna dari realitas (Chua 1969). Menurut Morgan (1979) paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis dari paham nominalisme yang melihat realitas sosial sebagai suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk membangun realitas.
Dalam paradigma intrepretif, secara ontology melihat realitas bersifat sosial, karena itu selalu menghasilkan realitas majemuk di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa realitas tidak dapat diungkapkan secara jelas dengan satu kali pengamatan dan pengukuran oleh sebuah ilmu pengetahuan. Keberadaan realitas merupakan seperangkat bangunan yang kokoh dan menyeluruh serta mempunyai makna yang bersifat kontekstual dan dialektis. Paradigma ini memandang suatu fenomena alam atau social dengan prinsip relativitas, sehingga penciptaan ilmu yang diekspresikan dalam teori bersifat sementara, local dan spesifik.
Dalam sisi epistemology hubungan peneliti dengan obyek bersifat interaktif melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah agar dapat memahami dan menfsirkan bagaimana aktor sosial tersebut menciptakan dunia sosial dan memeliharanya. Peneliti bebas melakukan segala tindakannya tanpa harus takut pada hukum, standart, norma yang ada asalkan apa yang dimaknai sesuai dengan realitas yang ada pada saat itu. Fenomena yang ada dapat dirumuskan dalam ilmu pengetahuan dengan memperhatikan gejala atau hubungan yang ada di antara keduanya yang hasilnya akan sangat subyektif oleh sebab itu tidak bersifat bebas nilai (Not Value Free).
3. Paradigma Kritis
Paradigma Kritisme lahir karena ketidakpuasan dari paradigma yang lahir terlebih dahulu yaitu paradigma fungsionalis/positivisme dan paradigma interpretifis. Pada paradigma fungsionalis dilandasi dengan pemikiran yang dimulai dengan swift epistemology dari epistemology deduktif platonik menjadi epistemology induktif empiric Aristotelian. Reaksi epistemology ini lahir dari penolakan kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud yang sebenarnya dari pencarian kebenaran. Sedangkan paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman (Chua 1969). Menurut Morgan (1979) paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis dari paham nominalisme yang melihat realitas social sebagai suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk membangun realitas. Chua (1986) mengungkapkan bahwa upaya interpretif tetap memiliki kelemahan. Ada 3 kritisme dari paradigma interpretif ini (Habermas, 1978; Bernstein, 1976; Fay, 1975 dalam Chua, 1986) yaitu: Pertama, persetujuan pelaku sebagai standar penilaian kelayakan penjelasan masih menjadi ukuran yang sangat lemah, kedua, perspektif kurang mempunyai dimensi evalutif. Habermas (1978) berpendapat bahwa peneliti interpretif masih tidak mampu mengevaluasi bentuk kehidupan dan arena itu tidak mampu menganalisa bentuk kesadaran salah dan dominasi yang mencegah pelaku untuk mengetahui kepentingan akan kebenaran. Ketiga, peneliti interpretif memulai dengan asumsi order sosial dan konflik yang berisi skema interpretif, sehingga terdapat kecenderungan untuk mengacuhkan konflik kepentingan antar kelas dalam masyarakat.(Chua, 1986).
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam paradigma interpretif, maka paradigma kritis dikembangkan dari konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang sebelumnya. Paradigma kritis menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah, dilanjutkan dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan dengan membangun konstruksi baru yang menampilan sistem yang adil. Sedikitnya ada dua konsepsi yang diungkapkan Salim (2006) perihal paradigma kritis yang perlu dipahami: Pertama, kritik internal terhadap analisis argument dan metode yang digunakan dalam berbagai penelitian. Kritik ini memfokuskan pada alasan teoritis dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan dan menilai data empiris. Paradigma ini lebih mementingkan pada alasan, prosedur dan bahasa yang digunakan dalam mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, penilaian silang secara kontinyu dan pengamatan data secara intensif merupakan merk dagang dari paradigma ini. Kedua, makna kritis dalam reformulasi masalah logika. Logika bukan semata-mata pengaturan formal dan kriteria internal dalam pengamatan, tetapi juga melibatkan bentuk khusus pemikiran yang difokuskan pada skeptisisme dalam pengertian rasa ingin tahu terhadap institusi sosial dan konsepsi tentang realitas yang berkaitan dengan ide, pemikiran, dan bahasa melalui kondisi sosial historis.
Ide yang menonjol dalam prespektif ini sebagian besar mempunyai keyakinan bahwa setiap suatu yang ada baik dalam individu atau masyarakat memiliki potensi historis yang tidak bisa diterangkan. Hal ini disebabkan karena manusia secara khusus tidak dibatasi keberadaannya dalam kondisi tertentu, dimana keberadaan dan lingkungan materinya tidak dipengaruhi oleh kondisi disekitarnya (Chua, 1986). Dalam berbagai paradigma, penekanan terhadap obyektivitas menjadi suatu keharusan agar temuan yang diperoleh bermakna. Sedangkan hal-hal yang bersifat subyektif harus sejauh mungkin dihindari merupakan hal yang mengadaada menurut paradigma kritis. (Salim, 2006).
Dalam berbagai paradigma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan studi masa kini dibantah oleh paradigma kritis, karena studi saat ini adalah studi yang berasal dari pengamatan tentang keteraturan dan ketidak teraturan sosial di masa lampau. Hasilnya kemudian secara tidak langsung digunakan untuk mempelajari atau menghindari hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat dalam berbagai aspek realitas kehidupan di masa depan.
Oleh sebab itu, paradigma kritis tidak sependapat dengan argumentasi bahwa ilmu dapat memprediksi atau mengontrol. Ilmu menurut paradigma ini hanya dapat mengatur fenomena yang bisa menuntun kita untuk mengenali berbagai kemungkinan dan di pihak lain, ilmu juga dapat menyaring kemungkinan yang lain. Manusia menurut paradigma ini dipersepsikan sebagai mahluk yang dinamis dan selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Namun mereka merasa dibatasi, ditekan oleh kondisi dan faktor sosial, dieksploitasi oleh orang lain untuk memperoleh argumentasi yang benar atau suatu pembenaran supaya dapat diterima, sehingga membatasi seseorang untuk mengeksplore potensi dalam dirinya secara utuh karena takut melanggar hukum, norma, dogma atau standard yang ada dan bersifat memaksa. (Sarantakos 1993 dalam Triyuwono, 2000).
Kesimpulan
Paradigma, pendekatan dan metode penelitian berada dalam satu alur logis untuk memahami fenomena sosial pendidikan yang terjadi di alam masyarakat. Menentukan paradigma menjadi langkah awal yang penting bagi peneliti karena akan menentukan langkah selanjutnya dalam melakukan penelitian. Empat paradigma pernelitian yang ada (positivisme, post-positivisme, konstruktivisme, dan teori kritis) memberikan pilihan bagi peneliti untuk memahami fenomena. Pemilihan terhadap paradigma konstruktivisme elanjutnya akan memberikan kemungkinan peneliti 20 melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Berbagai metode dapat dipilih dalam penggunaan pendekatan kualitatif yakni fenomenologi, studi kasus, grounded theory dan etnografi maupun penelitian tindakan. Pemilihan studi fenomenologi memberikan kemungkinanpeneliti untuk melakukan analisi data dengan Interpretative phenomenology analysis (IPA). Dalam pengunaan IPA penelitian mengikuti alur analsis mulai dari 1) Reading and re-reading, 2) Initial noting, 3) Developing Emergent themes, 4) Searching for connections across emergent themes, 5) Moving the next cases, 6) Looking for patterns across cases.
DAFTAR PUSTAKA 
Budyatna, M. (2006). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & quantitativee approach. Thousand Oaks,
London, New Delhi: Sage.
Denzim, Norman K., and Lincoln, Yvonna S.(Editor). 1994. Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.
Denzim, Norman K., and Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of qualitative research (terjemahan). Yogyakara Pustaka Pelajar.
Denny Moeryadi. 2009. Pemikiran Fenomenologi menurut Edmund Husserl. Dipublikasi oleh jurnalstudi.blogspot.
Donny .2005. Fenomenologi dan Hermeneutika: sebuah Perbandingan. Dipublikasi oleh kalamenau.blogspot.
Halik, A. (2018). Paradigma Kritik Penelitian Komunikasi. Jurnal Tabligh, 162-178.
Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Lincoln. Yvonna S. and Guba, Egon G. 1985. Naturalistic Inquiri. Sage Publications, Inc.


Komentar