Mengenal Paradigma dalam Penelitian Komunikasi
Rezanda Surya Dinata
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Penelitian adalah usaha secara sistematis dengan tujuan untuk menemukan jawaban ilmiah dari suatu masalah. Kata Sistematik dipilih karena didalamnya harus mengikuti prosedur dan langkah-langkah yang ada sebagai sebagai keabsahan sebuah prosedur. Penelitian atau riset dalam praktik komunikasi membahas berbagai fenomena – fenomena dan masalah – masalah komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif (Kriyantono, 2006).
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Penelitian adalah usaha secara sistematis dengan tujuan untuk menemukan jawaban ilmiah dari suatu masalah. Kata Sistematik dipilih karena didalamnya harus mengikuti prosedur dan langkah-langkah yang ada sebagai sebagai keabsahan sebuah prosedur. Penelitian atau riset dalam praktik komunikasi membahas berbagai fenomena – fenomena dan masalah – masalah komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif (Kriyantono, 2006).
Pengertian penelitian dari
berbagai ahli :
1. Soetrisno Hadi
Menurut Soetrisno Hadi,
pengertian penelitian adalah suatu usaha dalam menemukan segala sesuatu untuk
mengisi kekosongan atau kekurangan yang ada, menggali lebih dalam apa yang
telah ada, mengembangkan dan memperluas, serta menguji kebenaran dari apa yang
telah ada namun kebenarannya masih diragukan.
2. Soerjono Soekanto
Menurut Soerjono Soekanto,
definisi penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan
pada analisis dan konstruksi yang dilakukan secara sistematis, metodologis dan
konsisten dan bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sebagai salah satu
manifestasi keinginan manusia untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya.
3. Sanapiah Faisal
Menurut Sanapiah Faisal,
pengertian penelitian adalah suatu aktivitas dalam menelaah suatu problem
dengan menggunakan metode ilmiah secara tertata dan sistematis untuk menemukan
pengetahuan baru yang dapat diandalkan kebenarannya mengenai dunia alam dan
dunia sosial.
4. Donald Ary
Menurut Donald Ary, pengertian
penelitian adalah penerapan dari pendekatan ilmiah pada suatu pengkajian
masalah dalam memperoleh informasi yang berguna dan hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan.
5. Tyrus Hillway
Menurut Tyrus Hillway, pengertian
penelitian adalah suatu metode studi yang sifatnya mendalam dan penuh
kehati-hatian dari segala bentuk fakta yang bisa dipercaya atas suatu masalah
tertentu guna untuk membuat pemecahan masalah tersebut. Penelitian tentu
memiliki fungsi, seperti dalam penelitian pendidikan :
1. Pengembangan Ilmu Pendidikan Masalah dan
variabel yang diteliti digali dan diangkat berdasarkan teori-teori yang ada
dalam ilmu pendidikan. Hipotesis diturunkan dari teori yang telah ada, diuji
secara empirik untuk pengembangan ilmu. Bidang kajiannya meliputi : kurikulum,
proses belajar mengajar, evaluasi / penilaian pendidikan, administrasi dan
supervisi pendidikan, bimbingan penyuluhan, pendidikan luar sekolah, pendidikan
khusus, bidang teori dan filsafat pendidikan.
2. Pemecahan Masalah Pendidikan
Maksudnya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan praktek pendidikan,
termasuk penelitian terapan. Memecahkan masalah-masalah pendidikan teriutama
masalah yang berkenaan dengan kualitas proses pendidikan dan pengajaran, kualitas
atau mutu hasil pendidikan, efisiensi dan efektivitas pendidikan, relevansi
pendidikan dan lain-lain. Bidang kajiannya meliputi : kurikulum dan sistem
sekolah, anak didik, sistem pengajaran, lingkungan pendidikan, sarana dan
prasarana pendidikan, bahan-bahan instruksional, media dan teknologi
pendidikan, penilaian pendidikan, administrasi sekolah, pelaksanaan bimbingan
penyuluhan, perpustakaan sekolah.
3. Penelitian Kebijasanaan
Pendidikan Bidang kajiannya meliputi : Kurikulum Muatan Lokal, Pendidikan Dasar
9 tahun, Pengawasan Melekat, Monosistem Pendidikan Guru, Orang Tua Asuh,
Kenaikan Pangkat Otomatis, Pendidikan Guru di Universitas, Pendidikan
Politeknik, Pendidikan Multistrata.
4. Penelitian pendidikan yang
dapat menunjang pembangunan. Bidang kajiannya meliputi : Peranan pendidikan
dalam hubungannya dengan sektor ketenagakerjaan, produktivitas kerja, program
keluarga berencana dan kependudukan, lingkungan hidup, ideologi bangsa.
Selain
penelitian, terkadang kita sering dibuat bingung terhadap beda antara
metodologi penelitian dengan penelitian itu sendiri. Metodologi penelitian
berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan
sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi,
metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara
saksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah suatu
kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun
laporannya. Tentang istilah “Penelitian” banyak para sarjana yang mengenukakan
pendapatnya, seperti :
a. David H.
Penny Penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis
masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.
b. J. Suprapto
MA Penelitian ialah penyelididkan dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang
dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar,
hati-hati serta sistematis.
c. Sutrisno
Hadi MA Sesuai dengan tujuannya, penelitian dapat didefinisikan sebagai usaha
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
d. Mohammad
Ali Penelitian adalah suatu cara untuk memahami sesuatu dengan melalui
penyelidikan atau melalui usaha mencari bukti-bukti yang muncul sehubungan
dengan masalah itu, yang dilakukan secara hati-hati sekali sehingga diperoleh
pemecahannya.
Dari batasan-batasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cabang
ilmu pengetahuan yang membicarakan/mempersoalkan mengenai cara-cara
melaksanakan penelitian sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta
atau gejala-gejala secara ilmiah. Sedangkan penelitian adalah kegiatan untuk
mencari, menganalisis, mencatat apa yang menjadi bahan dalam metodologi
penelitian itu sendiri. Instrumen penelitian digunakan sebagai alat pengumpulan
data, dan instrument yang lazim digunakan dalam penelitian adalah beberapa
daftar pertanyaan serta kuesioner yang disampaikan dan diberikan kepada
masing-masing responden yang menjadi sampel dalam penelitian pada saat
observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini, fenomena sosial telah ditetapkan
secara spesifik oleh peneliti yang selanjutnya disebut variabel penelitian dan
dalam operasionalisasi variabel menggunakan skala ordinal. Skala ordinal
digunakan untuk memberikan informasi nilai pada jawaban. Setiap variabel
penelitian diukur dengan menggunakan instrumen pengukur dalam bentuk kuesioner
berskala ordinal yang memenuhi pernyataan-pernyataan tipe Skala Likert’s.
Menurut
Sugiyono (2016:132) definisi Skala Likert yaitu: “Skala Likert merupakan alat
yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi sesorang atau
sekelompok orang tentang fenomena soaial. Dengan menggunakan skala likert
veriabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian
indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item
instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.” Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Instrumen
untuk mengukur sistem akuntansi keuangan daerah, sistem pengendalian intern
pemerintah dan kualitas laporan keuangan adalah dengan menggunakan observasi,
wawancara dan kuesioner metode tertutup, dimana kemungkinan pilihan jawaban
sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberikan alternatif
jawaban lain.
b. Indikator-indikator
untuk variabel-variabel tersebut kemudian dijabarkan oleh penulis menjadi
sejumlah pertanyaan-pertanyaan sehingga diperoleh data kualitatif. Data ini
akan dianalisis dengan pendekatan kuantitatif menggunakan analisis statistik.
Tiga landasan
ilmu pengetahuan atau yang sering disebut dengan tiga tiang peyangga ilmu
pengetahuan dalam kajian filsafat ilmu terdiri atas : ontologi, epistimologi
dan aksiologi. Liek Wilardjo menambahkan satu landasan lagi yang disebut dengan
teleologis yang biasanya digabingkan dengan aksiologis. Ketiga unsur ini
merupakan tolok ukur dalam membangun The Body of Knowledge. Bangunan keilmuan
yang ditopang tiga tiang peyangga ini menjadi prasyarat mutlak jika mengupas
hubungan sinergi antara filsafat ilmu dengan metodologi penelitian. Secara
aplikasi, pola penggunaan tiga tiang peyangga ini dalam riset utamanya dalam
rancangan penelitian akan terwujud sebagai berikut : pada tataran ontologis
akan tercermin pada latar belakang penelitian, rumusan dan batasan masalah,
termasuk didalamnya penelitian terdahulu maupun kajian pustaka, adapun tataran
epistimologi terwujudkan dalam metode penelitian dan pada ataran aksiologi
maupun teleologis berwujud ke tujuan dan manfaat penelitian.
Tiga ranah ini
sesungguhnya menjadi kata kunci landasan filosofis dalam riset. Salah satu
tiang penopang dalam bangunan ilmu pengetahuan adalah epistimologi.
Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan
diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi membahas
secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh
pengetahuan. Epistimologi merupakan teori pengetahuan yang diperoleh melalui
proses metode keilmuan dan sah disebut sebagai keilmuan. Dengan epistimologi
maka hakikat keilmuan akan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan dengan
sifat terbuka, dan menjunjung tinggi kebenaran di atas segala-galanya. Oleh
sebab itu aliran yang berkembang dalam menopang konsep epistimologi menunjukkan
koridor di atas seperti rasionalisme, empirisme, kritisme, positivisme,
fenomenologi.
Secara garis
besar terdapat dua aliran pokok dalam epistimologi, yaitu rasionalisme dan
empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya
rasionalisme kritis (kritisme), fenomenalisme, intuisionisme dan positivisme.
Rasionalisme adalah suatu pemikran yang menekankan pentingnya akal atau ide,
sementara peran indera dinomorduakan. Pemikiran para filsuf pada dasarnya tidak
lepas dari orientasi ini yakni rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan
rasionalisme yang berpijak pada ontologik idealisme atau spritualisme dan dari
indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik
materialsme.
Epistimologi
sains barat dimulai dari berkembangnya pemikiran empiris sebagai antitesis dari
filsafat intuitif yang dikembangkan di awal sejarah manusia dan pertentangannya
dengan filsafat rasionalisme di abad ke 17 sebagi antitesis dari pemikiran
ampirisme, serta lahirnya epistimologi baru di awal abad kedua puluh.
Epistimologi abad kedua puluh ini ditandai dengan diliriknya fenomenologi
(sintesis) yang mengabungkan aspek rasionalisme, empirisme dan sekaligus
intuisi dalam epistimologi keilmuannya.
Metodologi
penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu
yang dibangun oleh peneliti. Sebagai jembatan yang menghubungkan antara dunia
ontologi dengan aksiologi, juga antara dunia das sollen dan das sein sehingga
kesenjangan yang terjadi di lapangan atau yang berkecamuk dalam dunia pemikiran
dapat terumuskan jawabannya. Semula metodologi merupakan cabang dari logika,
tetapi sekarang ini metodologi merupakan bagian dari bidang filsafat. Secara
sederhana metodologi adalah bidang filsafat yang membahas metode pada umumnya.
Metodologi dapat diperinci menjadi dua, yaitu: (a) Metodologi Ilmu, yang khusus
membicarakan metode-metode ilmiah sejak dari unsur-unsur metode ilmiah,
langkah-langkahnya, jenisjenisnya, sampai kepada batas-batas dari metode lmiah.
(b) Metodologi Filsafat, yang khusus membicarakan metode-metode yang digunakan
dalam filsafat. Usaha ini dirasakan sulit, karena dalam filsafat tidak ada satu
metodepun yang dianggap paling tepat. Tidak ada metode yang khas bagi filsafat
para filusuf bebas menggunakan metode apa saja dalam mencari kebenaran.
Oleh karena
metodologi ilmu yang merupakan pengejawantahan dari metode ilmiah yang oleh
Soetriono dan Rita Hanafie dinyatakan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur
atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Metode adalah
suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkahlangkah yang
sistematis. Garis besar langkahlangkah sistematis keilmuan sebagai berikut: (1)
Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah, (2) Menyusun kerangka
pemikiran (logical construct), (3) Merumuskan hipotesis (jawaban rasional
terhadap masalah), (4) Menguji hipotesis secara empirik, (5) Melakukan
pembahasan, (6) Menarik kesimpulan.
Tiga langkah
pertama merupakan metode penelitian, sedangkan langkah-langkah selanjutnya
bersifat teknis penelitian. Dengan demikian maka pelaksanaan penelitian
menyangkut dua hal, yaitu hal metode dan hal teknis penelitian. Namun secara
implisit metode dan teknik melarut di dalamnya. Mencari, merumuskan dan
mengidentifikasi masalah, yaitu menetapkan masalah penelitian, apa yang
dijadikan masalah penelitian dan apa obyeknya. Menyatakan obyek penelitian saja
masih belum spesifik, baru menyatakan pada ruang lingkup mana penelitian akan
bergerak. Sedangkan mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question), yaitu
pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan
berdasarkan teori (hukum atau dalil) yang ada.
Keterkaiatan
epistimologi dengan metodologi penelitian disimpulkan oleh Endang Koswara
sebagai berikut : Struktur prosesial mencakup Sembilan Langkah Sistematik,
yaitu: Tahap pra penelitian (identifikasi masalah, penetapan tujuan penelitian
/tercapainya ilmu, introspeksi dan skeptif). Tahap proses penelitian (tahap
ontologis medasar/ asumsi dasar). Tahap Epistimologis (metodologi/sarana dan
cara mencapai ilmu, penyimpulan, aplikasi ilmu praksis dan tercapainya sebagai
pembuktian dan ilmu final). Tahap Akhir (tercapainya kebahagiaan abadi).
Nilai Manfaat Riset
Aksiologi
dalam riset bertujuan agar riset yang dilakukan bermanfaat bagi kemaslahatan
hidup manusia, baik itu secara teoritis atau akademik maupun secara empirik
atau lapangan. Nilai manfaat ini sebaiknya terpikirkan sejak peneliti memulai
pra riset. Seringkali kemanfaatan riset ini baru terpikirkan dan digarap pada
penyusunan bab penutup dari laporan penelitian. Padahal secara eksplisit maupun
implisit, nilai manfaat selalu menyertai setiap langkah riset. Nama lain yang
sering digunakan untuk pengertian nilai manfaat adalah kontribusi penelitian
atau kegunaan penelitian. Sebaiknya memang dua aspek : teoritis dan praktis
selalu terjelma dalam hasil riset baik itu penelitian literature maupun
penelitian lapangan. Konsekuensi ilmiah dari penelitian yang dilakukan oleh
peneliti adalah menyampaikan hasil-hasil penelitian pada dua aspek tersebut.
Seringkali setelah selesai sidang majelis
mempertahankan hasil riset, peneliti menganggap riset berakhir. Laporan
penelitian dipajang di lemari, hasil penelitian tidak menyentuh pada
masalah-maslah yang dihadapi masyarakat. Pentingnya riset terletak pada
sejauhmana kontribusi tersebut termanfaatkan. Di sisi akademik, dijelaskan
bahwa nilai manfaat penelitian adalah suatu penelitian yang dilakukan membawa
pengaruh pada konsekuensi ilmiah yaitu sumbangsih pada bangunan teori (theory
building). Artinya penelitian yang dilakukan membawa dampak positif pada
bangunan keilmuan sesuai dengan yang digeluti peneliti. Hal ini tercermin ada
hubungan sinergis antara kajian pustaka yang dipaparkan dengan analisis yang
bermuara pada penambahan, pengurangan atau falsifikasi atas teori yang
diajukan. Tentunya hal ini sesuai dengan posisi peneliti: apakah pada riset S1
atau Pascasarjana. Terdapat perbedaan dalam hal kontribusi ilmiah karena hal
ini didasari atas stratifikasi keilmuan. Di sisi empirik, dijelaskan bahwa
riset itu akan termanfaatkan jika masyarakat benarbenar merasakan manfaatnya.
Seringkali laporan riset tidak disosialisasikan. Hal ini terlihat dari
masing-masing berjalan sendiri dengan masalahnya. Hasil riset tetap di lemari
dan masyarakat tetap dengan masalahnya. Inti pengabdian masyarakat adalah
penerapan hasil riset adalah hal yang mutlak. Qonditio sine qua non. Disinilah
sebenarnya letak ultimate reality dari riset.
Masyarakat
disini termasuk di dalamnya lembaga atau birokrasi yang diteliti. Hasil riset
yang disimpan tidak akan membawa perubahan pada lembaga yang diteliti. Oleh
karena penelitian ilmu-ilmu sosial merupakan ilmu yang dinamis maka terjadi
pergerakan dan perubahan yang hal ini lambat laun berpengaruh pada
singnifikansi riset. Jika kemudian hasil riset tidak diberikan pada lembaga
yang diteliti dan oleh lembaga tidak menindaklanjuti hasil riset untuk
perbaikan kinerja lembaga maka sesungguhnya nilai manfaat belum berjalan
optimal. Uraian inilah yang disebut sebagai pasca riset yaitu tindakan peneliti
untuk mempertanggungjawabkan hasil risetnya. Sisi pasca riset ini bisa
ditelusuri mengapa Indonesia tidak terdapat perubahan yang berarti dikarenakan
ilmuwan berputar-putar pada persoalan mereka sendiri. Sedemikian banyak hasil
riset yang selesai dilakukan berhenti pada titik nol dan hasil riset kadangkala
kadaluarsa karena sudah tidak dapat diaplikasikan di masyarakat yang dinamis.
Essensi Kajian Pustaka dan
Membangun Metodologi Disiplin Keilmuan
Pustaka tidak
selamanya memuaskan keinginan penulis dalam menuangkan ide dalam gagasan riset.
Inilah essensi salah satu riset yaitu riset dilakukan untuk sumbangsih bangunan
teori. Pembacaan atas realita pustaka yang masih belum diakses secara nasional
selain persoalan klasik dan lemahnya sistem jaringan kepustakaan memungkinkan
seseorang lemah dalam keaktualan dan kefaktualan data pustaka. Jaringan akses yang
berkembang dalam menelusuri pustaka lewat dunia maya juga masih dipertanyakan
keabsahannya terutama aspek pertangunggjawaban ilmiah. Seringkali yang dijumpai
adalah banyak peneliti yang sangat mengantungkan sumber informasi primer dari
jejaring sosial tersebut. Oleh sebab itu Diktis Kemenag, Dikti Dikbud atau LIPI
berkewajiban untuk menata standar ilmiah dalam mengakses jejaring sosial
berkaitan dengan mutu penelitian.
Hal yang
sering terjadi adalah peneliti belum dapat menunjukkan bobot keilmuan yang ditekuni.
Seorang peneliti sejak awal sebelum terjun ke dunia riset sebaiknya dapat
mengukur sejauhmana disiplin ilmu yang dikuasai. Hal yang paling mudah adalah
peneliti concern di bidang apa. Bidang ini yang dispesialisasi. Membangun
bidang yang ditekuni dengan jalan mendalami kajan pustaka terbaru termasuk
didalamnya menelusuri hasil riset pada jurnal nasional dan internasional.
Program ini dilakukan bertujuan agar supaya terlihat jelas nantinya hasil riset
yang bagaimana yang dapat disumbangkan dalam bangunan teori yang ditekuni.
Mempelajari
metodologi penelitian adalah mempelajari pula bangunan spesifik metodologi
penelitian yang dikembangkan dalam disiplinilmu tersebut. Artinya dalam
pemilihan dan penetapan bentuk atau alur metodologi yang bagaimana yang akan
dipergunakan sudah selayaknya menggunakan metodologi yang dikembangkan dalam
disiplin ilmu tersebut. Hal ini menjadi sangat urgen dikarenakan banyak
disiplin ilmu yang masih belum menemukan jati diri metode penelitian yang
dikembangkan khas rumpun ilmunya. Hal ini wajar saja terjadi karena payung
ilmunya di bidang penelitian sosial maupun penelitian alam telah menyediakan
standar umum penelitian. Namun demikian problematika yang dihadapi dalam riset
sangat khas rumpun ilmu yang bersangkutan sehingga membutuhkan warna khusus
dalam metode penelitian.
Secara empirik
ditemukan bahwa peneliti yang menggunakan metodologi dalam penelitiannya belum
diwarnai oleh kekhasan penelitian dalam bidang yang ditekuni. Contoh misalnya
mahasiswa Fakultas Syari’ah. Dalam uraian riset yang dilakukan belum
menggunakan metode penelitian hukum Islam yang dikembangkan. Sebagian besar
mahasiswa masih menggunakan referensi metodologi penelitian dalam pengertian
umum. Khususnya di bidang penelitianpenelitian ilmu sosial. Secara prinsip
metodologi penelitian yang dipergunakan bukan merupakan problematika karena
masih masuk dalam ranah penelitian akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan
metodologi penelitian dari disiplin ilmu yang ditekuni. Pekerjaan apa yang
dilakukan periset pada tinelitinya merupakan pekerjaan yang secara menyeluruh
bermanfaat termasuk didalamnya adalah sejauh mana sumbangsih metodologi
penelitian pada bangunan penelitian di bidang ilmu yang ditekuni.
Paradigma dapat didefinisikan
bermacam-macam tergantung pada sudut pandang yang menggunakannya. Jika dari
sudut pandang penulis, maka paradigma adalah cara pandang seseorang mengenai
suatu pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu
maupun keyakinan dasar yang menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan
sehari-hari. Capra (1991) dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa
paradigma adalah asumsi dasar yang membutuhkan bukti pendukung untuk
asumsi-asumsi yang ditegakkannya, dalam menggambarkan dan mewarnai
interpretasinya terhadap realita sejarah sains.
Sedangkan Kuhn
(1962) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution menyatakan bahwa
paradigma adalah gabungan hasil kajian yang terdiri dari seperangkat konsep,
nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama dalam suatu komunitas untuk
menentukan keabsahan suatu masalah berserta solusinya. Paradigma menurut Guba
(1990) seperti yang dikutip Denzin & Lincoln, (1994) didefinisikan sebagai:
“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first
principles…a world view that defines, for its holder the nature of the world…”
Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan atau kepercayaan yang
mendasari seseorang dalam melakukan segala tindakan.
Selanjutnya
Paradigma oleh Bhaskar (1989) diartikan sebagai: “... a) a set of assumptions,
b) belief concerning and c) accepted assume to be true” atau dapat
diterjemahkan sebagai seperangkat asumsi yang dianggap benar apabila melakukan
suatu pengamatan supaya dapat dipahami dan dipercaya dan asumsi tersebut dapat
diterima. Dengan kata lain bahwa paradigma adalah sebuah bingkai yang hanya
perlu diamati tanpa dibuktikan karena masyarakat para pendukungnya telah
mempercayainya. Hanya tinggal kita saja yang perlu untuk mencermati dari
berbagai macam paradigma yang ada.
Selanjutnya
Ritzer (1981) mendefinisikan paradigma sebagai, “…A fundamental image of the
subject matter within a science. It serves to define what should be studied,
what question should be asked, how the should be asked and what rule should be
followed in interpreting the answer obtained. The paradigm is the broadest unit
consensus within a science and serve to differentiate on scientific community
(or subcommunity) from another. It subsumes, defines and interrelates the
exemplars theories and method and instruments that exist within it”. Ritzer
(1981) menyatakan argumentasinya bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar
dari para ilmuwan atau peneliti mengenai apa yang seharusnya menjadi kajian
dalam ilmu pengetahuan, apa yang menjadi pertanyaannya dan bagaimana cara
menjawabnya. Paradigma juga dikatakan sebagai konsensus dari para ilmuwan yang
dapat melahirkan suatu komunitas atau subkomunitas yang berbeda dengan yang
lain. Paradigma yang berbeda tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam
teori yang digunakan, metode dan instrument yang ada untuk mencapai suatu
kebenaran.
Pergeseran Paradigma Ilmu
Pengetahuan
Padangan
tentang paradigma ilmu pengetahuan nampak akan selalu berubah antar waktu.
Suatu kelahiran paradigma yang baru tidak akan pernah terlepas dari paradigma
sebelumnya. Atau mungkin paradigma yang muncul setelah paradigma sebelumnya
sebagai paradigma yang selalu berusaha untuk memperbaiki kekurangan-kekurang
yang ada pada paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk
mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang selalu
berganti sesuai dengan jaman dan peradaban yang ada di muka bumi ini. Contoh
paradigma apakah paradigma positivis lebih baik atau buruk dari paradigma yang
lainnya, menurut penulis tergantung pada para penganutnya yang bisa memahami
dan mengerti paradigma tersebut.
Kuhn (1962)
menyatakan bahwa pergeseran paradigma ilmu pengetahuan akan menimbulkan suatu
kekerasan dan dapat memicu adanya suatu revolusi. Hal ini disebabkan penganut
paradigma tersebut berusaha untuk menggoyang paradigma sebelumnya agar mereka
berada dalam paradigma yang baru. Penganut paradigma yang baru pada masa itu
berusaha untuk memusnahkan dan mengantikan paradigma sebelumnya dengan jalan
mengungkap realitas yang ada dengan menjelaskan segala bentuk kelemahan pada
paradigma sebelumnya. Untuk itu, Mulyana (2003) menyebut 2 faktor yang
mendorong terjadinya pergeseran paradigma yaitu: “ …1)gugatan para ilmuwan
perihal daya eksploratori pendekatan kuantitatif-positivistik terhadap objek
kajian dan 2) laju perubahan social yang begitu cepat memerlukan pendekatan dan
model studi yang lebih kontekstual dan handal”.
Pergeseran
paradigma tersebut akan munculkan penganut-penganut yang mempercayai dan
meyakini masing-masing paradigma yang ada. Oleh sebab itu, adanya pergeseran
paradigma menciptakan suatu pengembangan dalam paradigma ilmu pengetahuan.
Burrel & Morgan (1979) mengembangkan aspek paradigma tersebut dalam asumsi
meta teoritikal yang mendasari kerangka referensi, model teori dan modus
operandi dari ilmuwan yang berada dalam paradigma tersebut. Semua definisi dari
keempat paradigma tersebut tidak mengindikasikan kesamaan pandangan seutuhnya
karena dalam setiap paradigma pasti terdapat ilmuwan yang mempunyai pandangan
yang berbeda-beda. Kesamaan yang bisa ditunjukkan hanya dalam konteks dasar dan
asumsi, hal inilah yang membedakan antara satu paradigma dengan paradigma yang
lainnya.
Sehingga
Burrell & Morgan (1979) membagi paradigma tersebut sebagai a) paradigma
fungsionalis ( The functionalist paradigm), b) paradigma interpretif (The
Intrepretive Paradigm), c) paradigma radikal structuralis (The Radical
Structuralist Paradigm) dan d) paradigma radikal humanis (The Radical Humanist
Paradigm) Sedangkan Chua (1986) membagi paradigma dalam ilmu social menjadi 3
paradigma yaitu a) The Functionalist (Mainstream) Paradigm, b) The Interpretive
Paradigma dan c) The Critical Paradigm.
Menurut Chua,
pernyataan yang diungkapkan oleh Burrell & Morgan untuk paradigma radikal
humanis dengan paradigma radikal strukturalis dapat digabungkan menjadi satu
paradigma yaitu paradigma kritis (The Critical Paradigm). Sarantakos (1993)
dalam Triyuwono (2006) membagi paradigma yang hampir sama dengan Chua (1986)
yaitu 1) The Functionalist (Positivist) Paradigm, 2) The Interpretive Paradigm,
3) The Critical Paradigm Eichelberger (1989) dalam Miarso (2005) selanjutnya
membedakan tiga paradigma filsafat yang melandasi metodologi pengetahuan,
yaitu: positivistik, fenomenologik, dan hermeneutik. Sedangkan Bhaskar (1989)
mengelompokkan paradigma dalam 3 kelompok yang didasarkan pada pengaruh
individu dan masyarakat. Pengelompokkan tersebut meliputi paradigma positivisme
(Emile Durkheim), paradigma conventionalisme (Max Weber), paradigma realisme
(Karl Marx). Sedangkan Guba (1990) seperti yang dikutip oleh Salim (2006)
membagi paradigma menjadi empat kelompok yaitu positivism, post-positivism,
critical theory dan konstruktivisme.
Dimensi
Ontologis, pada tataran dimensi ontologis, peneliti berada dalam pendekatan
objektif dan akan melihat kenyataan sebagai objek. Artinya, objek adalah
sesuatu yang berada di luar peneliti dan yang bebas dari penelitinya (value
free) dan dapat diukur secara objektif dengan menggunakan instrument. Sedangkan
dalam pendekatan subyektif, kenyataan adalah sesuatu yang ada dan dilibatkan
oleh peneliti dalam penelitiannya dan peneliti juga ikut andil dalam penelitian
tersebut (not value free)
Dimensi
Epistemologi, dalam dimensi ini memberikan jarak yang cukup jauh dengan objek
penelitiannya untuk pendekatan objektif sehingga lebih bersifat independent.
Pendekatan objektif atau positivistic lebih menuntut penyusunan kerangka teori.
Sebaliknya untuk pendekatan subyektif atau paradigma alternatif, peneliti
justru berinteraksi dengan objek yang diteliti. Interaksi tersebut bisa
berbentuk tinggal bersama atau mengamati perilaku subjek penelitian dalam
jangka waktu tertentu dan tidak menuntut penyusunan kerangka teori sebagai
persiapan awal penelitian.
Dimensi
Aksiologi, dalam pendekatan objektif nilai-nilai yang dianut peneliti tidak
boleh mempengaruhi penelitiannya dengan menghindari pernyataan-pernyataan yang
berkaitan dengan nilai dalam hasil penelitian dengan menggunakan bahasa yang
impersonal, sedangkan dalam pendekatan subyektif justru sebaliknya, bahasa
digunakan sebagai hubungan untuk mendekatkan antara peneliti dengan objek yang
diteliti sehingga lebih bersifat personal.
Dimensi
Metodologis, pendekatan objektif lebih menekankan pada logika deduktif dan
teoritis dan pengembangan hipotesis dilakukan untuk menguji hubungan sebab
akibat dan hasilnya cenderung statis. Sedangkan pendekatan subjektif lebih
mengarah pada logika induktif dengan mengandalkan interaksi dari peneliti
dengan actor yang ditunjuk dalam penelitian tersebut, sehingga lebih kaya
informasi, lebih kontekstual dalam menjelaskan teori yang ada.
1. Paradigma
Fungsionalis/Positivist
Paradigma
positivisme/fungsionalis adalah paradigma yang muncul paling awal dalam dunia
ilmu pengetahuan. Kepercayaan dalam pandangan ini berakar pada paham ontology
realisme yang menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan
sesuai dengan hukum alam. Penelitiannya berusaha untuk mengungkap kebenaran
dari realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan sesuai dengan
kenyataannya. Dalam paradigma ini mempunyai prespektif yang didasarkan pada
sosiologi regulasi dengan pendekatan obyektif dan cenderung mengasumsikan dunia
sosial sebagai produk empiris yang sangat nyata serta mempunyai hubungan satu
dengan yang lainnya (sebab-akibat).
Paradigma ini muncul pada abad ke
19 yang dimunculkan oleh August Comte (1830-1842), kemudian dikembangkan oleh
Emile Durkheim (1895) yang menjadi rujukan penganut positivist dalam bidang
sosial. Menurut Durkheim (1895) seperti yang dikutip Salim (2006) objek studi
sosiologi adalah fakta social (social-fact): “...any way of acting, whether
fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint;
or some thing which in general over the whole of given society whilst having an
existence of its individual manifestation” Artinya, fakta sosial dalam uraian
di atas adalah semua yang berkaitan dalam kehidupan, sekalipun fakta sosial
tersebut berasal dari luar kesadaran individu. Untuk mencapai kebenaran ini
peneliti harus menanyakan secara langsung kepada obyek yang diteliti, dan obyek
tersebut dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan.
Paradigma positivist/fungsionalis
ini telah ratusan tahun menjadi pedoman bagi ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran
realitas. Kebenaran tersebut tidak merupakan kebenaran yang mutlak karena harus
diuji terlebih dahulu berdasarkan beberapa faktor empiris untuk menjustifikasi
kebenaran realitas yang ada pada saat itu. Dalam paradigma ini obyek ilmu
pengetahuan dan pernyataan pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat yaitu
harus dapat diamati (observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur
(measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diramalkan (predictable)
(Kerlinger, 1973). Paradigma ini memiliki pendekatan yang berusaha untuk
menjelaskan hubungan sosial dengan pemikiran yang rasional, dengan orientasi
yang pragmatik berkaitan dengan pengetahuan tepat guna dan mengedepankan
regulasi yang efektif serta pengendalian hubungan sosial.
Pendekatan ini cenderung
mengartikulasikan dunia sebagai dunia artefek empiris dan hubungan yang ada
dapat diidentifikasi dan diukur dengan ilmu natural seperti biologi dan
mekanik. Paradigma ini di dasarkan pada norma rasionalitas purposif (Burrel
& Morgan, 1979). Berlandaskan fakta sosial dan uraian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa paradigma positivist/fungsionalis melihat teori dalam
penelitian sebagai dogma atau doktrin karena itu dalam mengembangkan
penelitiannya selalu didasarkan pada logika deduktif, aksioma, standart dan
hukum, selain dari itu bukanlah sebuah teori dan menempatkan hipotesis sebagai
fakta atau hukum. Peran dari akal menurut positivist/fungsionalis adalah semua
yang ada di dasarkan pada akal, demikian pula dengan kebenaran. Kebenaran
menurut positivist adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehat
walaupun jumlahnya hanya sedikit. Positivist/fungsionalis selalu menekankan
pada generalisasi untuk memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena
sebab akibat. Serta penjelasan keilmuannya selalu berdasarkan pada angka yang
mengandung kepastian sehingga tidak bisa ditolak. Bagi pendukung paradigma ini
penjelasan dan deskripsi adalah hubungan antara logika, data dan hukum atau
mungkin standart yang diperoleh. Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang
didasarkan pada pengamatan yang tepat dan dapat diulang kembali atau mungkin
digeneralisasi. Sedangkan nilai yang ada dalam paradigma positivist selalu
bersifat konvensional yaitu bersifat keras, menekan, memaksa (reduksionis)
karena kebenaran adalah segala sesuatu yang berada di dalam maupun diluar yang
harus bersifat obyektif sehingga bebas dari nilai (value free), sehingga
kedudukan peneliti dalam paradigma ini bebas dari kepentingan.
2. Paradigma Interpretif
Paradigma interpretif muncul
karena adanya ketidakpuasan terhadap pandangan yang dikemukakan oleh paradigma
fungsionalist/positivist khususnya mengenai realitas, karena menurut
intrepretivist, realitas adalah yang dapat dikonstruksi oleh individu yang
terlibat dalam situasi penelitian, sehingga paradigma ini menolak 3 prinsip
yang didengung-dengungkan oleh penganut paradigma fungsionalis/positivist yaitu
1) ilmu merupakan usaha untuk mengungkap realitas 2) hubungan subyek dan obyek
harus dapat digambarkan dan 3) hasil temuan harus dapat digeneralisasi. Atau
dapat dikatakan bahwa fenomena yang akan diteliti adalah harus dapat
diobservasi, dapat diukur dan dapat dijelaskan melalui karakter yang ada dalam
penelitian tersebut. Paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan
bahasa, interpretasi dan pemahaman akan makna dari realitas (Chua 1969).
Menurut Morgan (1979) paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis
dari paham nominalisme yang melihat realitas sosial sebagai suatu yang tidak
lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk membangun realitas.
Dalam paradigma intrepretif,
secara ontology melihat realitas bersifat sosial, karena itu selalu
menghasilkan realitas majemuk di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa
realitas tidak dapat diungkapkan secara jelas dengan satu kali pengamatan dan
pengukuran oleh sebuah ilmu pengetahuan. Keberadaan realitas merupakan
seperangkat bangunan yang kokoh dan menyeluruh serta mempunyai makna yang
bersifat kontekstual dan dialektis. Paradigma ini memandang suatu fenomena alam
atau social dengan prinsip relativitas, sehingga penciptaan ilmu yang
diekspresikan dalam teori bersifat sementara, local dan spesifik.
Dalam sisi epistemology hubungan
peneliti dengan obyek bersifat interaktif melalui pengamatan langsung terhadap
aktor sosial dalam setting yang alamiah agar dapat memahami dan menfsirkan
bagaimana aktor sosial tersebut menciptakan dunia sosial dan memeliharanya.
Peneliti bebas melakukan segala tindakannya tanpa harus takut pada hukum,
standart, norma yang ada asalkan apa yang dimaknai sesuai dengan realitas yang
ada pada saat itu. Fenomena yang ada dapat dirumuskan dalam ilmu pengetahuan
dengan memperhatikan gejala atau hubungan yang ada di antara keduanya yang
hasilnya akan sangat subyektif oleh sebab itu tidak bersifat bebas nilai (Not
Value Free).
3. Paradigma Kritis
Paradigma Kritisme lahir karena
ketidakpuasan dari paradigma yang lahir terlebih dahulu yaitu paradigma
fungsionalis/positivisme dan paradigma interpretifis. Pada paradigma
fungsionalis dilandasi dengan pemikiran yang dimulai dengan swift epistemology
dari epistemology deduktif platonik menjadi epistemology induktif empiric
Aristotelian. Reaksi epistemology ini lahir dari penolakan kebenaran yang
bersifat spekulatif dan jauh dari maksud yang sebenarnya dari pencarian kebenaran.
Sedangkan paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan bahasa,
interpretasi dan pemahaman (Chua 1969). Menurut Morgan (1979) paradigma ini
menggunakan cara pandang para nominalis dari paham nominalisme yang melihat
realitas social sebagai suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang
digunakan untuk membangun realitas. Chua (1986) mengungkapkan bahwa upaya
interpretif tetap memiliki kelemahan. Ada 3 kritisme dari paradigma interpretif
ini (Habermas, 1978; Bernstein, 1976; Fay, 1975 dalam Chua, 1986) yaitu:
Pertama, persetujuan pelaku sebagai standar penilaian kelayakan penjelasan
masih menjadi ukuran yang sangat lemah, kedua, perspektif kurang mempunyai
dimensi evalutif. Habermas (1978) berpendapat bahwa peneliti interpretif masih tidak
mampu mengevaluasi bentuk kehidupan dan arena itu tidak mampu menganalisa
bentuk kesadaran salah dan dominasi yang mencegah pelaku untuk mengetahui
kepentingan akan kebenaran. Ketiga, peneliti interpretif memulai dengan asumsi
order sosial dan konflik yang berisi skema interpretif, sehingga terdapat
kecenderungan untuk mengacuhkan konflik kepentingan antar kelas dalam
masyarakat.(Chua, 1986).
Dari kelemahan-kelemahan yang
terdapat dalam paradigma interpretif, maka paradigma kritis dikembangkan dari
konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang sebelumnya.
Paradigma kritis menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah,
dilanjutkan dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan
dengan membangun konstruksi baru yang menampilan sistem yang adil. Sedikitnya
ada dua konsepsi yang diungkapkan Salim (2006) perihal paradigma kritis yang
perlu dipahami: Pertama, kritik internal terhadap analisis argument dan metode
yang digunakan dalam berbagai penelitian. Kritik ini memfokuskan pada alasan
teoritis dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan dan menilai data empiris.
Paradigma ini lebih mementingkan pada alasan, prosedur dan bahasa yang
digunakan dalam mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, penilaian silang secara
kontinyu dan pengamatan data secara intensif merupakan merk dagang dari
paradigma ini. Kedua, makna kritis dalam reformulasi masalah logika. Logika
bukan semata-mata pengaturan formal dan kriteria internal dalam pengamatan,
tetapi juga melibatkan bentuk khusus pemikiran yang difokuskan pada skeptisisme
dalam pengertian rasa ingin tahu terhadap institusi sosial dan konsepsi tentang
realitas yang berkaitan dengan ide, pemikiran, dan bahasa melalui kondisi
sosial historis.
Ide yang menonjol dalam
prespektif ini sebagian besar mempunyai keyakinan bahwa setiap suatu yang ada
baik dalam individu atau masyarakat memiliki potensi historis yang tidak bisa
diterangkan. Hal ini disebabkan karena manusia secara khusus tidak dibatasi
keberadaannya dalam kondisi tertentu, dimana keberadaan dan lingkungan
materinya tidak dipengaruhi oleh kondisi disekitarnya (Chua, 1986). Dalam
berbagai paradigma, penekanan terhadap obyektivitas menjadi suatu keharusan
agar temuan yang diperoleh bermakna. Sedangkan hal-hal yang bersifat subyektif
harus sejauh mungkin dihindari merupakan hal yang mengadaada menurut paradigma
kritis. (Salim, 2006).
Dalam berbagai paradigma yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan studi masa kini dibantah oleh
paradigma kritis, karena studi saat ini adalah studi yang berasal dari
pengamatan tentang keteraturan dan ketidak teraturan sosial di masa lampau.
Hasilnya kemudian secara tidak langsung digunakan untuk mempelajari atau
menghindari hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat dalam berbagai aspek
realitas kehidupan di masa depan.
Oleh sebab itu, paradigma kritis
tidak sependapat dengan argumentasi bahwa ilmu dapat memprediksi atau
mengontrol. Ilmu menurut paradigma ini hanya dapat mengatur fenomena yang bisa
menuntun kita untuk mengenali berbagai kemungkinan dan di pihak lain, ilmu juga
dapat menyaring kemungkinan yang lain. Manusia menurut paradigma ini
dipersepsikan sebagai mahluk yang dinamis dan selalu dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya. Namun mereka merasa dibatasi, ditekan oleh kondisi
dan faktor sosial, dieksploitasi oleh orang lain untuk memperoleh argumentasi
yang benar atau suatu pembenaran supaya dapat diterima, sehingga membatasi
seseorang untuk mengeksplore potensi dalam dirinya secara utuh karena takut
melanggar hukum, norma, dogma atau standard yang ada dan bersifat memaksa.
(Sarantakos 1993 dalam Triyuwono, 2000).
Kesimpulan
Paradigma,
pendekatan dan metode penelitian berada dalam satu alur logis untuk memahami
fenomena sosial pendidikan yang terjadi di alam masyarakat. Menentukan
paradigma menjadi langkah awal yang penting bagi peneliti karena akan
menentukan langkah selanjutnya dalam melakukan penelitian. Empat paradigma
pernelitian yang ada (positivisme, post-positivisme, konstruktivisme, dan teori
kritis) memberikan pilihan bagi peneliti untuk memahami fenomena. Pemilihan
terhadap paradigma konstruktivisme elanjutnya akan memberikan kemungkinan
peneliti 20 melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Berbagai metode
dapat dipilih dalam penggunaan pendekatan kualitatif yakni fenomenologi, studi
kasus, grounded theory dan etnografi maupun penelitian tindakan. Pemilihan
studi fenomenologi memberikan kemungkinanpeneliti untuk melakukan analisi data
dengan Interpretative phenomenology analysis (IPA). Dalam pengunaan IPA
penelitian mengikuti alur analsis mulai dari 1) Reading and re-reading, 2)
Initial noting, 3) Developing Emergent themes, 4) Searching for connections
across emergent themes, 5) Moving the next cases, 6) Looking for patterns
across cases.
DAFTAR PUSTAKA
Budyatna, M. (2006). Metode Penelitian
Sosial. Bandung: Unpar Press.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative &
quantitativee approach. Thousand Oaks,
London, New Delhi: Sage.
Denzim, Norman K., and Lincoln, Yvonna S.(Editor). 1994.
Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.
Denzim, Norman K., and Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of
qualitative research (terjemahan). Yogyakara Pustaka Pelajar.
Denny Moeryadi. 2009. Pemikiran Fenomenologi menurut Edmund
Husserl. Dipublikasi oleh jurnalstudi.blogspot.
Donny .2005. Fenomenologi dan Hermeneutika: sebuah
Perbandingan. Dipublikasi oleh kalamenau.blogspot.
Halik, A. (2018). Paradigma Kritik Penelitian
Komunikasi. Jurnal Tabligh, 162-178.
Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset
Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Lincoln. Yvonna S. and Guba, Egon G. 1985. Naturalistic
Inquiri. Sage Publications, Inc.
Komentar
Posting Komentar